bandunginfo.com - Anak zaman sekarang mungkin lebih mengenal Dago Thee Huis alias Dago Tea House sebagai tempat pertunjukan budaya. Namun, gedung yang bertuliskan Taman Budaya Jawa Barat ini juga jadi saksi bisu sejarah kejayaan musik di Kota Bandung tahun 1990-2000-an. Cerita itu, tak pernah didengar oleh Febita Putri (18), mahasiswi semester 3 Psikologi UPI. Ebi, begitu sapaannya, hendak menggunakan bangunan tersebut untuk pementasan lomba Kabaret jurusannya. Tapi, Ebi ngaku tak pernah tahu seberapa gedung ini menyimpan banyak memori skena musik sebelum dia lahir.
"Aku nggak tahu, cuma pakai tempat ini karena sejak kakak tingkat yang tahun-tahun sebelumnya juga selalu pakai gedung ini. Tapi kalau memang gedung ini bersejarah buat konser di Bandung ya menurutku pantes, karena memang gedung ini memadai. Lokasinya, stagenya juga besar dan muat banyak penonton," kata Ebi.
Meskipun ia adalah anak yang tak suka nonton konser, tapi Ebi bisa membayangkan bagaimana Teater Terbuka dan Teater Tertutup di Dago Tea House jadi zona nyaman para musisi maupun penikmat musik. Ukuran stage yang cukup besar, kapasitas penonton yang banyak, serta kondisi gedung yang meski sudah lawas tapi masih terawat.
Ebi yang saat itu bertugas sebagai Ketua Pelaksana Acara Kabaret, juga mengaku sudah paham betul penataan alur acara dengan angka kunjungan yang banyak. Momen pertama menjadi panitia acara, membuat Ebi jadi banyak belajar dan memahami sekilas cerita ibunya soal perkonseran zaman dulu.
"Pengamanan acara udah cukup strict, kita buat alur check body untuk memastikan pengunjung pakai gelang tiket. Ada tim keamanan untuk jaga pintu agar nggak kebobolan atau over capacity. Terus sampai ke talent yang akan tampil, kita perlu tahu mereka datang itu bawa berapa orang, dikasih ID juga," ucap Ebi.
"Iya aku tahu kalau acara dengan massa yang banyak, dulu persiapannya nggak kaya gini. Mamaku pernah cerita kalau nggak dibolehin nonton konser, karena dulu keamanannya itu ngeri. Ibaratnya orang tuh berdarah-darah cuma buat nonton konser," ceritanya.
Lain halnya memori yang terekam dalam ingatan Yudi (43). Mantan 'anak nongkrong' di Dago Tea House ini, sekarang malah bertugas menjaga tempat nongkrongnya saat muda. Yudi kini berprofesi sebagai satpam Taman Budaya Jawa Barat.
Pria asal Sadang Serang ini sudah khatam spot-spot di Dago Tea House, meski kini kondisinya agak berbeda. Sambil menunjukkan titik-titik nongkrong era itu, Yudi sambil mengenang memori masa muda yang asyik di kota kelahirannya, Bandung. Maklum, di era itu Kota Bandung dikenal sebagai Kota Musik. "Itu saya ngalamin banget lah, waktu udah lulus sekolah mungkin ya tahun 2000-an, 2006 gitu. Dago itu tempat nongkrong, dan saya biasa ke Dago Tea House. Biasanya ada konser musik, terus dulu ada cafe-nya juga makanya di area teater terbuka itu ada saung-saung sisanya gitu. Sekarang cafenya udah tutup sejak 2015," ceritanya.
Yudi biasa nongkrong di saung-saung cafe kala itu dan tribun Teater Terbuka. Sebetulnya, beragam genre biasa manggung di sana. Tapi, genre musik keras yang paling Yudi hindari.
Musisi dari Bandung membawa genre yang berbeda. Semua punya pendengar setianya masing-masing. Salah satu genre musik yang cukup menjamur di Bandung kala itu ialah musik metal. Tapi buat Yudi, katanya lebih suka mendengarkan musik alternatif dan pop ketimbang musik cadas.
"Saya enggak lah, saya nggak bisa. Nggak cocok sama musiknya itu saya nggak ngerti. Ya dulu lumayan rusuh juga sih kalau ada konser metal juga. Saya sukanya nonton Ipang, Efek Rumah Kaca (ERK) gitu dulu mah," ujarnya mengaku sambil tersenyum lebar. Menurut Yudi, sampai sekarang wilayah Dago Tea House masih jadi tempat nongkrong. Buat mereka para anak baru gede (ABG) yang lagi seneng momotoran, sampai jadi tempat nongkrong buat para seniman. Cuma yang membedakan, sekarang Dago Tea House lebih sepi dan tak lagi asri.
"Ya sini mah masih jadi tempat nongkrong, anak motor gitu masih tapi jarang. Dulu mah parkiran ini penuh sama motor-motor, para nongkrong di sini. Terus kan dulu masih ada D3 Unpad jadi pada nongkrong di sini, sekarang mah cuma Gedung Pascasarjana sama komplek dosen," kenangnya.
"Dulu kalau masuk ada retribusi, tapi harganya cuma Rp1.000. Udah terus pada ke bagian dalem teater terbuka, saung-saungnya, itu kita masih bisa liat gitu (jarak pandang jauh tidak terhalang bangunan)," sambung Yudi.
Sekarang, Dago Tea House bebas dari retribusi. Cuma, pengunjungnya sepi. Cafe yang menghadirkan minuman atau cemilan juga sudah tak ada. Tempat ini ramai hanya kalau ada acara sedang digelar.
"Dulu itu area panggung ditambah riging lagi buat panggung kan. Musik apa aja bisa lah, tapi kebanyakan saya mah nontonnya Ipang, Sawung Jabo, Kantata Takwa, gitu. Yang baru-baru tuh The Panturas, The SIGIT, Rizky Febian juga sempet manggung di sini," cerita Yudi.
Upaya Dago Tea House Eksis di Tengah Perubahan
Seiring perkembangan zaman, perubahan pasti akan terjadi. Sebagai penikmat musik Bandung, Yudi bercerita kalau tragedi di Gedung Asia Africa Cultural Center (AACC) jadi salah satu yang membuat adaptasi baru pada industri musik.
Sekedar diketahui, tragedi maut sebuah konser terjadi pada Sabtu (8/2/2008) silam. Ada 11 remaja Bandung yang pamit ke keluarga untuk menonton rilis album band musik metal, namun malah pulang dalam keadaan tak bernyawa. Gedung legendaris itu kini dikenal sebagai Gedung De Majestic.
"Jadi kalau tahun 2006 lah, itu konser artisnya siapa, detail kayak gitu yang tahu cuma penyelenggara. Pihak gedung nggak tahu-menahu. Nah setelah kejadian itu, sempet acara konser jadi jarang lah. Terus juga jadi diperketat banget," kenang Yudi.
"Awalnya ketat jadi nggak boleh band-band metal, terus ditambah harus ada pengamanan, medis. Pengelola gedung juga harus dikasih tahu detail yang main siapa, gitu. Sekarang konser masih banyak, tapi udah nggak kayak dulu sih. Terus gedung ini juga nggak boleh sama sekali nih buat musik keras, paling yang tari-tari, musik yang pelan gitu aja, karena udah bangunan lama," tambah Yudi menjelaskan.
Sedikit kilas balik, Taman Budaya Jawa Barat dikenal sebagai Dago Tea House sebab pada zaman kolonial Belanda, merupakan salah satu tempat yang memiliki panorama paling indah di kota Bandung di kawasan Bandung Utara. Di sini, jadi spot ngeteh favorit para bangsawan Belanda, karena dapat menikmati pemandangan lembah kota Bandung yang indah dan mempesona.
Tempat ini sebetulnya punya nama resmi yakni Taman Budaya Provinsi Jawa Barat atau Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, yang diurus Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov Jabar. Meski begitu, masih banyak yang menyebutnya Dago Tea House karena jadi branding kuat dan daya tarik tersendiri.
Penanggungjawab Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Agung Kusnadi mengatakan bahwa gedung ini masih aktif untuk berbagai kegiatan kesenian. Gedung yang berdiri sejak tahun 1991 ini, memang seolah punya daya tarik sendiri selain dari sisi fungsi.
"Kegiatan di Taman Budaya mayoritas pagelaran mahasiswa dan komunitas. Tahun ini kita ada festival permainan dan seni rupa juga bersama 54 seniman dari Kota Kabupaten di Jabar. Memang dulu tempat ini juga jadi rekomendasi Presiden Soeharto untuk menggunakan Dago Tea House untuk pagelaran. Misalnya, saat tahun lalu ada festival musik dari Korea Selatan yang diadakan di sini."
"Bisa dibilang, nggak ada perubahan fungsi gedung, cuma mungkin kita lebih memperhatikan keamanan dan kesehatan pengunjung. Sekarang mungkin ada peningkatan, dengan pagelaran yang didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)," imbuh Agung.
Di luar itu semua, Agung optimis kalau Dago Tea House ini akan tetap eksis dan jadi jujukan bagi penikmat seni dan musik di Bandung. Apalagi tempat ini banyak menyimpan kenangan bagi generasi yang telah melintasi masa-masa kejayaan musik di Kota Kembang.
"Ya kita tetap berkomitmen untuk jadi tempat yang aman, nyaman, dan bisa jadi tempat berkreasi, apalagi dengan suasana dan view yang memukau. Ini akan jadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang dari luar kota Bandung juga," tutup Agung.